Malang –
Pesarean Gunung Kawi selalu ramai oleh kunjungan peziarah. Area ini merupakan makam Raden Mas Soeryo Koesoemo atau Kiai Zakaria II dan Raden Mas Iman Soedjono.
Kiai Zakaria II dikenal dengan sebutan eyang Djoego, merupakan cicit dari Pakubuwono I. Eyang Djoego juga merupakan laskar sekaligus pengawal Pangeran Diponegoro melawan Belanda.
Eyang Djoego sebelumnya menetap dengan membangun padepokan di wilayah Dusun Djoego, Kesamben, Kabupaten Blitar. Eyang Djoego wafat pada Senin Pahing tanggal Satu Selo Tahun 1871 M. Jenazahnya dibawa dari Dusun Djoego, Kesamben menuju Wonosari, Kabupaten Malang, untuk dimakamkan sesuai permintaannya yaitu di sisi selatan Gunung kawi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemakaman jenazah eyang Njoego digelar secara Islam yang dipimpin oleh Raden Mas Iman Soedjono. Lalu, tahlil akbar digelar pada malam harinya. Aktivitas itu pun menjadi gelaran rutin di pesarean Gunung Kawi untuk menggelar upacara di malam Jumat Legi, selain Senin Pahing menandai hari wafatnya Eyang Djoego.
Setiap tahun, keturunan dan pengikut melakukan ziarah ke makam. Selain pada hari-hari tertentu, seperti saat malam Kamis Kliwon atau Jumat Legi, malam 1 Suro (Muharram), selalu diadakan perayaan tahlil akbar dan upacara ritual lainnya. Upacara ini biasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan keturunan Eyang Iman Soedjono.
“Di sini akan selalu ramai ketika malam 1 Selo untuk memperingati haul dari Eyang Djoego. Selain malam 1 Suro dan malam Kamis Kliwon, hari di mana Eyang Djoego dimakamkan,” ujar Kadir, Ketua RT setempat saat ditemui detikJatim di lokasi, Kamis (26/10/2023) dan dikutip detikTravel pada Sabtu (28/10).
Pada area pesarean juga terdapat makam dari Raden Mas Iman Soejono yang merupakan murid sekaligus anak angkat dari Eyang Jugo. Raden Iman Soedjono wafat pada tahun 1876 atau lima tahun setelah kematian Eyang Djoego. Raden Mas Imam Soejono bersama pengikut Eyang Djoego sebelumnya melakukan babat alas di wilayah yang saat ini menjadi lokasi pesarean.
Pesarean dibuka selama tiga kali setiap hari. Yakni, mulai pukul 07.30 WIB sampai 11.00 WIB, lantas siang pukul 13.30 WIB sampai 16.00 WIB, dan mulai pukul 19.30 WIB sampai 22.00 WIB.
“Di sini dikelola oleh yayasan, di mana merupakan kerabat dari Eyang Djoego termasuk juru kunci. Pesarean akan dibuka tiga kali, pagi, siang dan malam. Hanya kalau malam Kamis Kliwon dibuka mulai pagi sampai malam,” terang Kadir.
Di Gunung Kawi ini tampak jelas akulturasi budaya dari lima agama, yakni Islam, Hindu, Budha, Konghucu, serta Kristen. Sehingga menjadi keunikan dari obyek wisata yang berada di ketinggian 800 mdpl ini.
Sementara itu, tepat di sisi selatan anak tangga menuju pesarean, berdiri megah bangunan klenteng dan ciamsi. Kadir menyebut, bangunan untuk ibadah umat beragama Konghucu dan Budha itu dibangun oleh konglomerat ternama di Indonesia.
Selain makam yang disakralkan, dalam kompleks pesarean juga tumbuh pohon Dewandaru yang dipercaya dan mitos yang berkembang merupakan pohon keberuntungan. Pohon itu tumbuh tepat di depan pesarean eyang Djoego.
Pohon ini yang sering dikeramatkan oleh orang-orang. Konon katanya, jika bertapa di bawah pohon itu hingga kejatuhan buah, daun, atau benda lain kemudian dibawa pulang, maka akan mendapatkan keistimewaan tertentu termasuk bisa kaya.Namun tak semudah itu, lamanya menunggu kejatuhan benda tersebut tak sebentar. Bahkan ada yang bertapa hingga berbulan-bulan. Itu tergantung pada niat dan keikhlasan batin seseorang tersebut.
“Dari ceritanya pohon Dewandaru itu dari tongkat eyang Djoego yang ditancapkan. Sering buahnya dinantikan karena dipercaya membawa keberuntungan, berbuah biasanya pada Bulan Desember,” kata Kadir.
Simak Video “Sejarah Kebun Kopi Tertua di Jawa Timur”
[Gambas:Video 20detik]
(fem/fem)