Jakarta –

Tahukah kamu, hostel pertama di Jakarta ternyata terletak di Jalan Jaksa. Dulu selalu jadi incaran turis asing, bagaimana kabar hostel itu sekarang?

Hostel legendaris itu bernama Wisma Delima. Lokasinya berada di sisi kiri Jalan Jaksa bila traveler berjalan dari arah Kebon Sirih.

Untuk menemukan Wisma Delima, traveler harus jeli karena tak ada palang nama besar layaknya penginapan pada umumnya. Tulisan Wisma Delima berukuran kecil terpampang di papan putih yang berada di sisi kiri penginapan tersebut.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

detikTravel sempat berkunjung ke Wisma Delima pada Rabu (20/9/2023). Pemandangan terbaru rupanya berbeda dengan foto-foto yang beredar di internet.

Bagian pekarangan hostel telah dialihfungsikan menjadi warung kopi (warkop). Berjalan melalui warkop itu, traveler akan menemukan kafe bernama Nostalgic.

Kafe Nostalgic di Wisma Delima Jalan Jaksa. Foto: Chelsea Olivia/detikcom

Suasana siang itu tampak ramai. Banyak orang-orang berpakaian rapi yang kami asumsikan pekerja kantoran yang datang ke kafe tersebut. Mereka umumnya datang untuk makan siang, bekerja, hingga rapat.

Melihat kondisinya sekarang, lantas terbersit pertanyaan, di manakah kamar-kamar hostel Wisma Delima?

Menjawab pertanyaan itu, kami bertemu dengan pemilik Wisma Delima, Boy Lawalata. Pria paruh baya itu menyambut kami dengan hangat. Dia mengatakan, Wisma Delima tidak lagi menyewakan kamar untuk para pelancong.

“Sekarang kami sewakan untuk warkop. Ini kafe dikelola anak saya. Kamar-kamar sekarang disewakan untuk kos-kosan wanita,” kata Boy.

Kendati telah berubah fungsi, sisa-sisa kenangan dari Wisma Delima masih dapat kami rasakan. Foto-foto lawas dari Wisma Delima masih dipajang di sana. Begitu pun buku tamu yang berasal dari tahun 1971, masih disimpan rapi oleh Boy.

Pemilik Wisma Delima, Boy Lawalata. Foto: Chelsea Olivia/detikcom

Awal mula Wisma Delima

Boy menjelaskan, Wisma Delima mulanya didirikan ayahnya yang bernama Nathanael Lawalata. Wisma itu dibuka pada 1969 dengan memanfaatkan rumah pribadi.

“Orang tua kami asal dari Maluku. Sedangkan saya lahir di sini, di Jalan Jaksa ini. Jadi orang tua tinggal di sini sudah dari tahun 1950-an,” ujar pria kelahiran 1954 itu.

Wisma Delima dapat dikatakan sebagai pelopor berdirinya penginapan bagi orang asing di Jakarta. Latar belakang pendidikan Nathanael di Amerika Serikat membuatnya familiar dengan kehidupan Barat. Maka, tak heran bila ia berani membuka bisnis yang saat itu tak biasa.

“Kebetulan orang tua pernah dapat beasiswa ke Amerika. Jadi lancar berkomunikasi dengan orang asing,” ucapnya.

Buku tamu Wisma Delima. Foto: Chelsea Olivia/detikcom

Mengenai pemilihan nama Delima, rupanya juga terdapat makna tersendiri. Nama ini bukan mengarah ke buah delima seperti yang umumnya dipikirkan orang-orang.

“Orang tua punya anak tiga. Jadi suami, istri, dan 3 anak ada lima orang. Lalu kalau Belanda kan ada ‘De’ (menyatakan kepemilikan). Digabunglah menjadi Delima,” katanya.

Saat awal-awal merintis penginapan ini, keluarga Lawalata menarik pelanggan dengan cara nongkrong di Bandara Kemayoran. Mereka akan datang dengan becak lalu menjemput turis yang belum memiliki tempah singgah di Jakarta.

“Waktu itu tahun 69 kita kan menjemput tamu dengan becak di Kemayoran. Jadi kita ke sana nungguin. Mulai turun, kita tawari menginap di Jaksa. Lalu kita antar pakai becak,” kenangnya.

Kala itu, Wisma Delima mematok harga murah untuk turis asing. Semalam, mereka hanya perlu membayar USD 1 atau sekitar Rp 250.

Wisma Delima di Jalan Jaksa. Foto: Chelsea Olivia/detikcom

Wisma Delima mulai laris manis setelah penginapan itu didaftarkan dalam International Youth Hostel Federation (IYHF) pada 1972. Apalagi, Wisma Delima juga sempat ditulis Tony Wheeler dalam buku panduan wisata Lonely Planet.

Pelanggan utama Wisma Delima adalah para backpacker muda. Mereka berasal dari berbagai negara tetapi paling dominan dari Eropa.

“Backpacker itu umumnya anak muda ya. Jadi kalau kita kebanyakan dari Eropa, kalau Australia sudah pasti karena dekat. Jadi kebanyakan dari Belanda, Jerman, Prancis,” ucapnya.

Mereka akan menginap di kamar-kamar berkonsep asrama (dormitory). Mereka tidur di ranjang tingkat.

“Satu kamar bisa 30-40 orang,” kata Boy.

Menurut Boy, puncak kejayaan Wisma Delima adalah di tahun 80-an. Mereka juga sempat menambah kamar dari semula 12 menjadi 14 kamar.

Wisma Delima tergerus perkembangan zaman

Sayangnya, kejayaan ini kian memudar seiring berjalannya waktu. Wisma Delima menjadi sepi bersamaan dengan menurunnya pesona Jalan Jaksa.

Memang, kedatangan turis asing ke Indonesia umumnya dan Jakarta khususnya, mengalami dinamika selama puluhan tahun ke belakang. Sebut saja peristiwa seperti kerusuhan 1998, bom di Jakarta dan Bali, serta COVID-19 membuat Jalan Jaksa ditinggal para bule.

Pelebaran trotoar di Jalan Jaksa pada 2017 juga berdampak pada sepinya jalan tersebut. Boy memaparkan, trotoar itu membuat orang-orang enggan berkunjung ke penginapan dan kafe.

“Katanya sih biar mirip Singapura tapi bingungnya, nggak dikasih fasilitas parkir. Jadi orang males ke Jaksa. Parkir susah,” ujarnya.

Trotoar super lebar di Jalan Jaksa. Foto: Putu Intan/detikcom

Sementara menurut Boy, eksistensi Wisma Delima juga tergerus teknologi seperti aplikasi pemesanan. Saat ini, banyak turis asing yang telah mempersiapkan perjalanan mereka melalui pemesanan daring. Boy juga maklum karena aplikasi ini menawarkan pilihan lebih banyak dengan harga yang sesuai kantong mereka.

“Dia bisa lihat kamarnya dari foto. Bisa lihat harganya, pokoknya lengkap kalau di aplikasi. Kalau buku (panduan perjalanan) kadang publish setahun sekali, harganya masih yang lama jadi kadang mereka datang sudah ganti harga,” tuturnya.

Boy sendiri enggan untuk menggunakan aplikasi pemesanan. Melihat masa depan Jalan Jaksa, ia lebih memilih untuk menggunakan lahan miliknya dijadikan bisnis lain.

Simak Video “Mengenal Museum MACAN, Oase di Tengah Tandusnya Permuseuman RI”
[Gambas:Video 20detik]
(pin/wsw)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *