Semarang –
Tak ada yang menyangka, di tengah hutan bambu di desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang berdiri sebuah candi, bernama Candi Asu.
Bangunan candi kecil itu memiliki salah satu batu berelief mirip anjing. Candi Asu, nama itu pun disematkan masyarakat untuk bangunan candi tersebut.
Untuk menuju lokasi Candi Asu sebenarnya tidak sulit, karena dari musala dan rumah warga terdekat cukup jalan sekitar 500 meter. Namun jalan itu masih tanah, menanjak, dan sulit untuk dilalui kendaraan bermotor, jadi harus jalan kaki.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengunjung harus melewati “terowongan” alami yang terbentuk dari tumbuhan di sekitarnya termasuk bambu-bambu yang selalu berderik jika tertiup angin. Kawasan candi tersebut pernah ada semacam padepokan, namun kini sudah terbengkalai semua bangunannya.
Namun di bangunan yang terdapat Candi Asu di tengahnya, masih nampak ada karpet warna hijau dan gelas kaca bening berisi air. Ada juga benda seperti makam lengkap dengan dua nisan kayu di samping Candi Asu.
TACB Semarang Jelaskan Misteri Candi Asu
Arkeolog sekaligus Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Semarang, Tri Subekso mengatakan Candi Asu masih banyak menyisakan misteri.
Dalam catatan TACB Kabupaten Semarang, memang belum diketahui kapan pertama kali Candi itu ditemukan. Kemudian juga, tidak ditemukan struktur candi, sehingga belum diketahui pasti apakah itu lokasi asli.
“Candi Asu itu belum bisa dipastikan apakah lokasi awal di situ. Perlu penelitian kekuatan struktur susunan batu di bawah,” kata Tri di Semarang.
Candi Asu di Bandungan Semarang. Foto: Angling Adhitya Purbaya/detikJateng
Selain itu, batu dengan relief mirip wajah dan juga ada yang mirip batu, masih diragukan apakah benar peninggalan kuno, karena belum ada catatan relief serupa sebagai pembandingnya. Namun, batu-batu yang disusun di Candi Asu memang ada yang dipastikan bebatuan candi asli.
“Masih diragukan yang (relief) wajah-wajah. Perlu penelitian. Patung Asu itu juga agak nggak lazim, tapi bisa jadi iya asli. Tetapi yang umum dan otentik itu yoni dan umpak di sana,” jelasnya.
Beberapa bagian candi di Candi Asu yang tercatat BPCB sejak tahun 2014 ada Yoni, Umpak, Makara, komponen hiasan menyerupai singa jongkok, kemudian Ratna berupa batu berundak tiga, batu kulit, kemudian batu polos penyusun Candi.
“BPCB tahun 2014 belum memasukkan yang hewan karena masih ragu. Kalau iya (asli kuno) itu jarang ditemukan. Kan belum tahu kronologis batuan dikumpulkan di situ. Tapi kalau bagian candi, iya,” ujar Tri.
Soal benda mirip makam di samping kiri Candi Asu, Tri justru bingung karena terakhir meninjau lokasi sekitar dua tahun lalu, makam itu belum ada. Kawasan itu memang dulunya untuk berkumpul orang namun ia kurang paham apakah itu padepokan. Meski demikian ada problem di warga sehingga akhirnya ditutup.
“Dulu sempat ada semacam padepokan untuk ritual. Kemudian dilakukan penutupan, dinamika masyarakat. Yang penting adalah komponen bangunan candi di sana harus dilindungi sesuai Undang-Undang Cagar Budaya nomor 11 tahun 2010 dan perda pelestarian no 9 tahun 2019 tentang pelestarian cagar budaya,” tegas Tri.
Candi Asu belum ditetapkan sebagai cagar budaya karena masih perlu penelitian lebih lanjut. Namun perlakuannya tetap sama karena sudah masuk obyek diduga cagar budaya.
“Belum diterapkan sebagai obyek diduga cagar budaya, tetapi memang belum ditetapkan SK-nya, belum dari Kabupaten Semarang. Secara perlindungan sama dengan cagar budaya,” katanya.
Dugaan Candi Asu memang candi asli selain karena batuan yang menyusun, kawasan itu diduga masih berkaitan dengan Candi Gedong Songo yang tidak jauh dari Candi Asu, sekitar 3 kilometer jaraknya.
Tri menjelaskan Gunung Ungaran memang dianggap sebagai gunung suci di zaman Kerajaan Hindu sehingga banyak bangunan candi.
“Namun Candi Asu juga belum tercatat pada catatan Belanda tahun 1914 baik dengan nama lain sekalipun,” jelas Tri.
Candi Asu di Bandungan Semarang. Foto: Angling Adhitya Purbaya/detikJateng
Tri juga menjelaskan, ada pembeda Candi yang didirikan di lereng, dekat puncak, dan lembah Gunung Ungaran. Untuk lembah biasanya bangunan Candi digunakan untuk ibadah dan ada cukup banyak.
“Kemudian arcanya bisa diidentifikasi seperti Durga, Ganesha, itu adalah candi untuk desa-desa pada masa lalu. Ibarat ada masjid ada musala, di tiap desa ada,” tegas Tri.
“Untuk candi di gunung dan lereng hingga puncak itu diperuntukkan untuk kadewa guruan, untuk pengajaran. Bagi para resi dan orang untuk menyucikan dirinya. Hanya kalangan agamawan. Karena itu gunung suci, mendaki pun tisak sembarangan,” imbuhnya.
Candi Asu Masih Jadi PR Bagi Arkeolog
Tri menjelaskan teka-teki Candi Asu kini juga menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi arkeolog termasuk TACB. Ia berharap bisa menemukan petunjuk-petunjuk lain soal Candi Asu.
“Ini juga menjadi PR bagi kami untuk meneliti,” tegasnya.
Salah satu warga yang enggan disebut namanya mengatakan pemilik sekaligus juru kunci di Candi Asu sudah meninggal dunia. Dulu memang sering orang-orang berdatangan namun kemudian warga sekitar keberatan.
“Iya dulunya banyak datang sampai dari luar daerah. Ya kalau baru-baru ini paling orang-orang yang datang mau buat video,” kata warga tersebut.
—–
Artikel ini telah naik di detikJateng.
Simak Video “Kondisi Memprihatinkan Situs Candi Kayen Pati”
[Gambas:Video 20detik]
(wsw/wsw)