Yogyakarta –
Sumbu Kosmologis Yogyakarta masuk daftar Warisan Budaya UNESCO. Ini makna filosofi dan keunikannya.
Pengumuman tersebut disampaikan pada Senin (18/9/2023) di Riyadh, Arab Saudi dalam pertemuan Komite Warisan Dunia UNESCO ke-45.
Sumbu Kosmologis Yogyakarta merupakan konsep tata ruang yang diinisiasi oleh Raja Pertama Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I, tepatnya sejak abad ke-18. Konsep tata ruang ini sangat unik, karena dibuat berdasar konsepsi Jawa dan berupa struktur jalan lurus yang membentang antara Panggung Krapyak di selatan, Kraton Yogyakarta, hingga Tugu Golong Gilig di utara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budayawan Yogyakarta, Achmad Charris Zubair, menyebut terpilihnya Sumbu Kosmologis Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia adalah sangat wajar. Sebab, tempat ini sangat unik dan tidak ada tempat lain yang memiliki keunikan serupa, baik dari struktur dan filosofinya.
“Ini yang saya kira wajar kalau misalnya UNESCO menerima usulan kita semua untuk menjadikan itu Sumbu Kosmologis sebagai warisan kita dan dunia karena ini satu-satunya. Kelihatannya satu-satunya yang membangun tata ruang kota itu dengan dengan makna sumber filosofi seperti itu,” kata Zubair ketika dihubungi detikTravel, Rabu (20/9).
Ia menyebut konsep tata ruang Catur Gatra umum digunakan di budaya Jawa. Seperti Keraton sebagai pusat pemerintahan, Alun-alun sebagai ruang publik, masjid sebagai pusat peribadatan, serta pasar sebagai pusat perekonomian. Namun, Yogyakarta juga menerapkan tata ruang unik lainnya yakni bangunan yang dibangun segaris.
“Tetapi kalau di Jogja ini ada satu tambahan yang dikonsep sejak awal sebagai sumbu kota itu sendiri yang dimulai dari tiga bangunan utama. Panggung Krapyak, Kraton, kemudian Tugu Golong Gilig yang berada di satu jalur lurus yang kita kenal sebagai Sumbu Kosmologis,” kata dia.
Zubair menyebut hal ini sebagai kecerdasan dalam membuat tata kelola kota. Disebut pula di dalamnya juga menyimpan makna simbolik yang menjadi pelajaran hidup.
“Satu tata ruang fisik yang sebetulnya melambangkan perjalanan hidup manusia yang kalau dalam bahasa Jawa disebut Sangkang Paraning Dumadi. Sehingga kalau kita lihat filosofi di Panggung Krapyak ke arah utara itu menggambarkan seorang anak yang dilahirkan seorang ibu, kemudian beranjak dewasa, menikah, sampai melahirkan anak,” tuturnya.
“Kemudian akhirnya toh dengan melalui jalan-jalan utama yang kita kenal sebagai jalan di jalur antara alun-alun sampai tugu golong gilig melalui Jalan Kemuliaan Margomulyo, Jalan Kebajikan Malioboro, kemudian Jalan Keutamaan Margotomo, sampailah ke tugu golong gilig,” kata dia.
Ia menyebut bahwa makna filosofis tak hanya hadir di dalam bangunan tata kelola kota, tetapi hadir pula dalam penamaan serta vegetasi sekitar. Seperti adanya pohon asem dan pohon-pohon muda yang ia sebut sebagai simbol kemudaan.
“Sebab ini adalah satu-satunya kota yang penataan ruang fisiknya itu selain ada Catur Gatra, tetapi juga ada makna-makna simbolik yang kemudian diwujudkan dalam ruang fisik tata bangunan dan juga bahkan vegetasi yang ditanam di sepanjang di jalur itu,” kata dia.
Karena berbagai keunikan dan unsur filosofisnya, ia tak heran mengapa Sumbu Kosmologis Yogyakarta bisa terpilih menjadi Warisan Budaya UNESCO, kendati memerlukan waktu yang panjang dalam pengakuannya.
Simak Video “Sumbu Filosofi Yogyakarta Jadi Warisan Budaya Dunia”
[Gambas:Video 20detik]
(wkn/fem)